Ketika Media Mengubah “ KEMANUSIAAN KITA” (Fenomena Media Baru Ruang Dan Waktu)
Di Posting Oleh : Admin
Kategori : Humaniora
We Created The Media …..And Suddenly Media Change Us .
Kita sedang berada masa yang serbaneka, ketika pemikiran manusia yang tak kenal puas ini terus berevolusi dan bergerak menghasilkan temuan serba mutakhir yang kemudian memungkinkan interaksi manusia menjadi begitu intens meskipun akhirnya nyaris tanpa makna lagi , sepi nilai nilai kemanusiaan dan sarat dengan sikap individualistik.
ArwanFiles |
Manusia masa-kini tengah disibukkan dengan ketakjubannya sendiri, terhadap segala sesuatu yang dihasilkannya lewat teknologi, saking sibuknya mereka menjadi abai ketika “ciptaanya” telah mengikis dan mengubah sisi kemanusiaannya sendiri ,termasuk bagaimana manusia mengelola ruang-ruang dalam kehidupannya : ruang publik dan ruang pribadi yang menjadi begitu bias dan sulit dibedakan.
Marx (1999) dalam Anonyimity & Democracy mengungkapkan kondisi ini dalam istilah anonymity ,yaitu kondisi dimana informasi menyebar ke segala penjuru tanpa terikat pada ruang ruang dan sekat-sekat tertentu,termasuk identitas sumber informasi,batas-batas lokasi (alamat), jaminan sosial, penampilan, kategori sosial (ras, kelas, jenis kelamin), profesi, keluarga anggota adalah seperangkat pengidentifikasi yang sangat beragam pada diri seseorang pelaku komunikasi, Oleh karena itu, anonimitas didefinisikan sebagai tidak teridentifikasinya salah satu atau beberapa sifat anonimitas tersebut diatas.
Ini menjadi begitu menarik, bahwa sekian banyak dari kita mengonsumsi begitu banyak informasi dari media tanpa benar-benar tahu apa,bagaimana dan untuk apa informasi itu disebarluaskan,Baudrillard mengungkapkan kondisi ini sebagai sebuah fenomena penyatuan khalayak oleh informasi dari media di satu waktu, untuk kemudian khalayak itu kembali menghambur kesegala arah ketika informasi itu usai dikonsumsinya.
MEMAHAMI KONSEP RUANG DAN WAKTU
Isaac Newton mengungkapkan ruang dan waktu adalah objektif, mutlak, dan bersifat universal. Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Untuk membuktikan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, Newton mengemukakan hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut: “Suatu benda terus berada dalam diam atau bergerak, kecuali mendapat pengaruh dari suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya.”
Berbeda dengan newton Einstein ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang bergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara berbeda maka hasilnya akan berbeda.
Waktu bersifat relatif karena hasil pengukurannya terhadap hubungan yang menyangkut waktu bergantung pada pengertian keserampakan, apabila sesuatu terjadi misalnya ledakan maka kuatnya bunyi akan berbeda di berbagai tempat. analogi ini dapat kita gunakan untuk melihat bagaimana sebuah pesan yang disampaikan disatu-waktu dapat dipahami secara berbeda di beberapa tempat.
Gripsrud & Moe dalam pengantar buku The Digital Public Sphere,Challenges For Media Policy (2010) mendeskripsikan bahwa pada sekitaran tahun 1990-an hingga tahun 2000-an semua media konvensional mengalami digitalisasi yang kemudian melahirkan konsep ruang publik digital.
Merujuk pada apa yang disampaikan oleh Batorski & Grzywinska, (2018) tentang ruang public maka kita dapat memahami ruang publik adalah sebaagi tempat bagi warga negara untuk memperoleh informasi, bertukar ide, serta beradu pendapat tentang masalah publik
Konsep digitalisasi ruang public ini juga disinggung oleh Goldberg dalam jurnalnya RethinkingThePublic/VirtualSphere: The Problem With Participation (2010), Goldberg menjelaskan bahwa terdapat kurang lebih 40 topik artikel yang diterbitkan oleh New Media & Society, yang mengangkat tema tentang ruang publik sebagai topik utama.
Pada akhirnya digitaliasi media yang melahirkan konsep ruang publik digital,menjadikan konsep ruang menjadi bias, Jarak yang tadinya merupakan ukuran untuk menentukan ruang,pun seakan-akan tak lagi bermakna Begitu juga dengan transformasi hubungan antara ruang dan waktu,padahal manusia justru tumbuh,hidup dan berkembang dalam balutan makna .
Goldberg (2010) kembali menjelaskan tentang pengembangan online platform menjadi ruang publik berjejaring dengan menggunakan tekhnologi internet. Maka salah satu sifat dari newmedia sebagai ruang publik pun semakin diminati oleh masyarakat milenial yang mengutamakan kemudahan dalam segala hal, termasuk dalam mengakses dan menyebarkan informasi.
Namun demikian, kita masih dapat memahami Ruang sebaagi tempat dimana interaksi berlangsung , konsepsi ruang yang multitafsir ini pada akhirnya akan merujuk pada 2 dimensi utama, yaitu sebagai arena kompetisi antara para pelaku komunikasi dan atau sebagai hanya sebagai tempat dimana para pelaku komunikasi ini berinteraksi
MEDIA DAN NILAI KEMANUSIAAN
We Created The Media …..And Suddenly Media Change Us .
Saya kembali mengulangi kutipan anonym ini untuk menunjukkan betapa kuatnya media mengubah “ kemanusiaan” kita , jika kita dulu begitu mengalasmi sensasi dengan berinteraksi dengan orang lain secara langsung, atau membeli buku kesukaan, menonton dibioskop dan atau memiliki kaset kesukaan dari band atau artis favorit, maka semua sensasi bahagia itu telah tereduksi atau pada beberapa kasus justru malah hilang sama sekali.
Digitalisasi media dan ruang publik telah membuat kita menjadi bosan untuk membangun relasi sosial dan rajin membangun realitas semu dan temporer, realitas yang bahkan bertolak jauh dari fakta kemanusiaan kita yang justru membutuhkan interaksi untuk maju dan berkembang sebagai manusia.
Hal ini menjadi kontradiktif , jika kita menyimak apa yang diungkapkan oleh Gripsrud & Moe (2010), The Digital Public Sphere, Challenges For Media Policy yang tentang kewajiban media sebagai platform,mereka berpendapat bahwa media berkewajiban untuk mendistribusikan konten kepada publik serta memfasilitasi publik dalam keterlibatan antara individu dan berbagi infromasi bersama.
Lebih jauh lagi Habermas (1989) yang dikutip dalam jurnal Social Media as a Public Sphere, Politics on Social Media yang ditulis oleh Kruse et al (2018), menganalisa media sosial merupakan situs populer yang membuat jutaan penggunanya terhubung secara digital, sehingga lahirlah anggapan bahwa media sosial juga merupakan bagian dari konsep new media sebagai ruang publik.
Digitalisasi telah mereduksi ingatan-ingatan kolektif kita tentang betapa senangnya berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, berbagi informasi ,digitalisasi media telah memperkecil kemungkinan-kemungkinan untuk merasakan semua itu kembali ,kemudahan akses informasi melalui internet telah mempersempit ruang sosial , tanpa disadari kita telah dikonstruksi dengan kemudahan akses informasi dengan sumber yang anonym itu dalam ruang public digital.
DODY KURNIAWAN ASMAN
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
Komentar
Posting Komentar